Saturday, October 10, 2015

“Bukan seberapa banyak puncak dan seberapa tinggi gunung yang telah didaki. Tetapi, perjuangan menuju kesana adalah skenario indah yang sayang untuk dilewatkan dan tak terlupakan dalam hidup”

Gunung Sindoro nampak gagah dari Gunung Sumbing
            Jam menunjukkan pukul 6 pagi, hampir saja saya mengabaikan janji untuk datang menjemput seorang teman di sebuah terminal. Terlihat di layar handphone ada puluhan pesan singkat maupun panggilan masuk darinya. Lebih tepatnya saya telat bangun, padahal hari ini harus menempuh perjalanan jauh. Tak butuh waktu lama, saya pun bergegas mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi. Tidak lebih dari 15 menit saya menghabiskan waktu untuk mandi, cukup singkat bukan? Carrier beserta isinya, sepatu, dan pakaian yang akan digunakan sudah tertata rapi, semalaman saya mempersiapkannya dengan baik sampai-sampai terlambat tidur dan kesiangan. Sepeda motor yang terparkir di garasi pun segera saya ajak untuk berkendara dengan kecepatan tinggi dan menemui teman di terminal. Empat puluh lima menit saya berpacu dengan waktu dan menerabas jalanan kota Semarang.
“Saya di depan terminal ya, Mel?”, ucap saya di pesan singkat.
            Tiba-tiba seorang gadis mungil menepuk punggung saya. Amel, gadis yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas ini baru saya kenal beberapa hari sebelum hari keberangkatan. Dia gadis yang cukup pendiam dan tak banyak bicara.
“Kak, mau langsung berangkat sekarang?”, ucap Amel.
“Iya, ayuk cabut, udah keburu siang neh. Kasian Bang Ardi sama temennya nungguin di basecamp”, jawab saya.
            Akhirnya, saya pun kembali membawa motor kesayangan bersama Amel untuk meluncur ke basecamp Garung di Kledung, Temanggung. Saya memacu sepeda motor dengan kencangnya, melewati beberapa kota yang dibalut dengan udara segar dan pemandangan alam yang menghijau. Sudah puluhan kilo meter jarak yang saya lalui di tengah teriknya matahari yang kian meninggi. Di antara semangat yang menggebu inilah saya dan Amel rela berpeluh keringat selama lebih dari dua jam untuk menuju sebuah gerbang. Gerbang yang merupakan awal cerita dari skenario perjalanan indah kami.
Perjalanan melambat ketika melihat sebuah tulisan bahwa kami sudah hampir sampai di basecamp pendakian Gunung Sumbing. Saya mengendarai motor pelan-pelan dan di bibir jalan berdiri sesosok laki-laki yang sejak semalam menunggu kedatangan kami. Terlihat seulas senyum khas Bang Ardi menyambut saya dan Amel. Sesampainya kami, Bang Ardi membantu membawakan carrier dan mengurus simaksi. Tak hanya itu, Bang Ardi pun memperkenalkan temannya kepada kami.
“Hai, saya Herry”, ucapnya sambil tersenyum.
Usai perkenalan singkat itu, kami berempat pun mempersiapkan diri dan packing ulang untuk segera memulai pendakian. Setelah persiapan yang dilakukan selesai, kami mulai berjalan kaki dari basecamp menuju Pos 1. Langit biru dan hijaunya pepohonan di ladang warga sekitar menghiasi perjalanan ini.
            Canda tawa terkadang terlempar begitu saja di tengah perjalanan menuju Pos 1, seolah kami sudah saling mengenal begitu lama. Setelah berjalan ratusan meter tak jarang kami melepas lelah sejenak, sekedar menegak air segar di sela-sela tenggorokan. Kami begitu menikmati setiap langkah perjalanan ini dengan ribuan harap untuk bisa menggapai puncak. Untuk waktu yang telah terlewati selama dua jam lebih ini, Tuhan membayar satu harapan kami dengan bertemu dengan Pos 1 yang notabene masih terlampau jauh perjalanan untuk menuju pos selanjutnya maupun ujung dari pendakian ini. Bekal peta pendakian yang diberikan oleh petugas simaksi adalah salah satu dari sekian semangat yang ada.
“Bang, berapa jam lagi ke pos 2? Masih lama?”, tanya saya kepada Bang Ardi.
“Iya neh, Bang. Berapa lama lagi sih?”, sahut Herry.
“Dua jam lagi juga udah sampe pos 2 koq, yuk semangat jalannya”, ucap Bang Ardi menyemangati kami.
“Ayo semangat, Kakak”, ucap Amel.
            Kaki kembali melangkah, tak ada lagi ladang warga desa yang menghiasi perjalanan. Tetapi, kami harus membelah hutan dengan pepohonan yang rimbun dan jalan yang kian menanjak. Meski terik matahari semakin menjadi, kami masih semangat untuk terus melangkah. Medan yang dilalui mulai menampakkan sebuah pilihan pada kami untuk terus melangkah atau berbalik arah. Saya pun mulai egois dengan diri sendiri, tetap pada pilihan untuk terus melangkah apapun yang akan dihadapi. Bukahkah hidup juga selalu memberikan pilihan dan jalan yang tak mulus?
            Tak terasa satu demi satu rintangan telah dilewati. Tibalah kami di Pos 2 yang masih begitu rindang untuk dijadikan tempat beristirahat sejenak. Lagi-lagi kami selalu meributkan peta jalur pendakian di setiap tempat kami beristirahat. Peta itulah yang seolah-olah membuat rasa lelah kami menjadi tidak terasakan lagi.
“Bentar lagi Pos 3, abis itu Pestan, kita ngecamp di situ. Jalan lagi yuk . . . “, ucap Bang Ardi sambil menunjuk peta.
“Berapa lama lagi neh, Bang?”, tanya saya.
“Ga lama koq, pas maghrib juga paling kita udah sampai Pestan”, jawab Bang Ardi.
            Tampaknya dari kami berempat, saya selalu mengulang pertanyaan yang sama. Tak dipungkiri saya memang ingin sekali cepat sampai camp untuk beristirahat. Langkah kami pun berlanjut menuju pos selanjutnya. Jalur untuk kesana ternyata kian sulit, lebih sulit dari sekian gunung yang pernah saya daki sebelumnya. Apapun alasannya saya harus tetap keras kepala pada pilihan ini, memilih untuk ikut mendaki gunung ini sebisa yang saya mampu.
            Tantangan di jalur menuju Pos 3 begitu memukau pandangan mata saya. Tanah dengan banyak lubang menganga dan bebatuan mulai mendominasi. Butuh tenaga ekstra untuk melewati jalur tersebut. Sesekali kami mendapati jalan lurus meski hanya beberapa meter saja.
“Woiii . . . pelan-pelan yah jalannya, bonus neh, dinikmati dong!”, seru Bang Ardi.
Sontak kami pun tertawa terbahak-bahak dan mengikuti Bang Ardi untuk berjalan melambat. Saat matahari sudah menandakan akan tenggelam, kami tiba di Pos 3 untuk beristirahat kembali. Sesegera mungkin kami membuka peta lagi dan kembali bersemangat karena sudah hampir sampai di Pos Pestan dengan ketinggian sekitar 2767Mdpl.
            Semburat di ufuk barat sudah mulai memunculkan sinar merahnya. Langkah kami semakian cepat, berharap sampai di Pos Pestan tidak terlalu malam. Kurang dari dua jam kami pun tiba di Pos Pestan. Terlihat Bang Ardi berlari mencari tempat lapang untuk mendirikan tenda sebagai tempat beristirahat kami. Sebelumnya kami juga sempat mengabadikan momen detik-detik matahari itu menghilang dari pandangan. Di Pos Pestan kami bahu-membahu mendirikan dua buah tenda. Tenda-tenda inilah yang akan menghalau kami dari dingin yang membekukan tubuh dan angin yang berhembus kencang.
Semburat merah senja di dekat Pos Pestan
            Senja akhirnya tergantikan oleh gelapnya malam berselimutkan dingin yang begitu pekat. Secangkir kopi panas yang telah diseduh sedikit bisa menghangatkan tubuh. Dan hidangan santap malam pun menemani kebersamaan kami berempat. Gemerlapnya ribuan bintang di langit pun menawarkan keindahan yang takkan terbayar dengan materi. Saya mulai berandai-andai untuk bisa menikmati semua perjuangan dan keindahan yang Tuhan tawarkan bersama dengan seseorang kelak.
“Malam ini bintang di langit begitu indah, sayang aku tak bisa menikmatinya bersamamu”, ucap saya sambil menatap bintang.
“Kak, kamu salah kalo nggombalinnya sama aku”, sahut Amel seraya tertawa.
Bang Ardi dan Herry pun tak mau kalah untuk menertawakan saya. Gombal gunung yang terlontar dari bibir saya ternyata mampu memecahkan tawa diantara kami. Malam itu, langit bertaburan bintang di ketinggian 2767Mpdl. Taburan bintang yang menghiasi langit Sumbing menggerakkan sepasang kaki saya untuk mengabadikan milky way yang memang baru pertama kali ini diabadikan oleh mata telanjang. Warna-warni cahaya dari tenda pun turut serta menjadi pelengkap dalam bingkai layar kamera. Malam semakin larut dan dingin tak tertangguhkan lagi. Sekujur tubuh ini membutuhkan waktu untuk melepas lelahnya. Jaket tebal yang membalut tubuh dan sehelai sleeping bed pun tak mampu mengalahkan dingin yang kami rasakan.
Terima kasih sahabat sudah mengajak saya bermalam di "hotel berbintang" banyak
Tuhan tak henti-hentinya menawarkan suasana malam yang begitu syahdu
            Di sepertiga malam, kami bangun dan bersiap untuk menapakkan kaki menuju puncak Sumbing. Melewati jalan berbatu dan menerpa kabut yang memudarkan pandangan mata kami. Hanya langkah kaki kami beserta cahaya lampu senter yang menerangi jalan yang dilalui. Rasa kantuk, lelah, dan dingin yang hebat harus bisa kami kalahkan selain ego. Semua itu tak terkecuali karena sebuah puncak, tanda kebahagiaan kami untuk membayar semua lelah dan perjuangan ini. Puncak memang bukanlah hal paling mutlak dalam sebuah perjalanan, tetapi memaknai sebuah proses perjalanan adalah hal yang tak bisa ditawar lagi.
            Berjam-jam lamanya langkah saya terseok-seok dengan terjalnya jalan berbatu ini. Saya mulai diterpa keraguan untuk bisa sampai di atas sana. Sepasang bola mata saya pun mengucurkan airmata, seolah harus menyerah begitu saja pada rintangan yang ada. Saya ingin menjerit sejadi-jadinya kala itu. Jujur, saya sudah tak sanggup lagi melangkah dan ingin mengakhirinya. Bukan lagi lelah, kantuk, dingin maupun ego yang membuat saya lemah seperti ini. Tetapi, ketakutan untuk tak bisa kembali untuk orang-orang yang saya cintai itulah yang terlampau hebat. Memang, alangkah bodohnya jika saya harus melepaskan semua harap pada Gunung Sumbing.
“Wid, ayo pegangin kayu ini. Aku tarik dari atas dan kita jalan pelan-pelan aja. Bentar lagi puncak lho”, ucap Herry sambil menjulurkan sebuah kayu.
            Saat begitu dekat dengan sebuah kegagalan, Tuhan mengirimkan banyak cara untuk membangkitkan kembali semangat saya yang sudah benar-benar terkoyak dengan keadaan. Uluran tangan teman-teman seperjalanan membuat saya mengurungkan kata menyerah dan gagal. Bukankah sejak awal saya sudah keras kepala pada diri sendiri untuk bisa sampai di puncak sana?
            Gelap pada akhirnya akan berganti dengan cahaya, begitu pun malam yang berganti dengan pagi dan menawarkan cerita baru. Saat sang raja siang keluar dari peraduannya, kami berempat sudah hampir sampai di puncak.
Selamat pagi semesta, semoga saya masih bisa menikmati keindahan alam ini
“Wid, ayo buruan. Tuh puncaknya udah keliatan deket kan?”, ucap Herry menyemangati saya.
Saya menatap sebuah puncak di Gunung Sumbing dengan mata yang berkaca-kaca. Seluruh tubuh saya masih gemetar karena dingin dan lelah. Sebuah tatapan haru dan syukur karena satu dari ribuan harap ini telah berganti menjadi kenyataan. Tuhan membayar semua tangisan saya dengan sebuah ujung dari pendakian ini, puncak dan turun dengan selamat.
Tracking menuju puncak Gunung Sumbing bersama Amel
            Pada titik tertinggi Gunung Sumbing inilah saya merasakan mahakarya Tuhan yang tak pernah terbayar dengan apapun. Untuk semua keindahan yang Tuhan tawarkan ini tak bisa terbantahkan. Saya menatap semua lautan awan, deretan gunung, hijaunya pemandangan di bawah sana, dan langit biru, semua itu menyapa saya dengan indahnya. Disanalah, Tuhan juga mempertemukan saya dengan orang dan cerita baru, di atas awan. 
Merah Putih berkibar di puncak Gunung Sumbing
Di puncak Gunung Sumbing dengan background Gunung Sindoro. Bersama sahabat, perjalanan ini akan terasa ringan
Salam hangat dari puncak Gunung Sumbing
            Usai mencumbui keindahan puncak Sumbing, kami pun kembali turun ke basecamp dengan sebuah kebanggan. Tentunya juga membawa sebuah cerita persahabatan yang telah terajut dengan manis. Terima kasih sahabatku untuk semua semangat, kegigihan, saling memberi dan peduli yang telah dicurahkan kepada saya. Mimpi saya, semoga suatu saat nanti Tuhan menawarkan skenario pertemuan dan perjuangan yang lebih indah dari ini semua. 


NB : Tulisan ini yang mengantarkan saya menjadi pemenang utama di blog competition dari Blibur.com dengan artikel  https://blibur.com/journal/merajut-cerita-di-atas-awan 




2 komentar:

  1. Wah Mba Widha T.O.P B.G.T lah

    Ya Allah Gunung Sumbing... Bisakah diriku sampai di puncaknya? :')

    ReplyDelete
  2. Tenang, gunung ga akan lari dikejar mba ret . . .

    ReplyDelete

Dear Widha . . . . 2019 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template