Kepingan Rindu di Barisan Pantai Wonogiri
Keindahan yang ditawarkan
pantai rupanya mampu membuat hati saya menjadi tergerak untuk selalu kembali.
Sedahsyat itukah daya magisnya?
Tak terasa kesibukan bekerja membuat
saya mengabaikan momen indah ini lupa untuk dituangkan dalam barisan kalimat menjadi
sebuah cerita. Sudah setahun lebih yang lalu rupanya, tepatnya 20 Desember
2014. Wonogiri, kota yang namanya kian melejit dengan waduknya bernama “Gajah
Mungkur” ini ternyata memiliki deretan bukit selatan yang begitu indah.
Ketika masih tinggal di Jogja, saya
memulai perjalanan ini pada pagi hari dengan menggunakan sepeda motor. Saya memacu
kencang sepeda motor serta menyusuri jalanan Kota Wonosari hingga perbatasan
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Menyusuri Wonosari itu hal yang mungkin terlalu
sering saya lalukan, wajar jika keheranan saya tak muncul sedikitpun ketika
melintas.
Namun, jalur selatan yang masih baru
ketika memasuki wilayah Wonogiri membuat saya begitu terpukau dengan lukisan
alam yang menghijau. Jarum jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, saya memarkir
kendaraan di tepian jalan Pracimantoro dekat pabrik kayu. Tak lama, saya pun
bergegas memesan satu mangkok soto Wonogiri yang ternyata sangat nikmat dan
enak. Harga yang ditawarkan pun cukup murah, untuk semangkuk soto dan teh panas
saya hanya membayar Rp 7500.
Usai sarapan pagi, saya kembali
memacu sepeda motor ke arah pantai. Berbekal sebuah artikel, GPS handphone
serta GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) tradisional. Akhirnya, dua setengah jam
perjalanan ini terbayar dengan bukit-bukit yang membentang. Bukit itu yang
selama ini menyembunyikan keindahan surga di Wonogiri.
Papan nama bertuliskan “Pantai
Sembukan” dan iringan rintik hujan menyambut saya. Tak berselang lama, biru
langit turut menghias tempat saya berjalan menikmati bukit. Hempasan angin
laut, segarnya udara pagi, dan barisan dedaunan hijau menjadi satu sajian
kebahagiaan saya hari itu. Duduk termenung di atas bukit pun rasanya tak terasa
terik di kulit. Ahh, rasanya seperti sendiri di tepian surga karena meski weekend tapi hanya ada beberapa orang
saja yang berada di pantai itu. Cukup lama saya berjalan menyusuri tiap sudut
Pantai Sembukan yang begitu mempesona.
Pantai Sembukan |
Pantai Sembukan dari atas bukit |
Pemandangan dari atas bukit |
Jalan setapak menuju bukit pun terlihat rapi dan indah |
Tebing dan pemandangan hijau membentang |
Seperti di luar negeri ya pemandangannya . . . |
Hingga pemandangan dibalik bukit membuat
saya tergoda untuk menyambanginya. Pantai dibalik bukit itu, Pantai Klotok yang
tak henti-hentinya membuat saya berdecak kagum. Namun, hati tak pernah puas
untuk menjelajah pantai yang tak jauh dari dua pantai ini. Motor pun saya
lajukan kembali hingga tiba di pelataran parkir Pantai Nampu.
Hamparan bibir pantai berbalut pasir
butih membentang begitu panjang. Tebing hijau pun kian gagah berdiri dan
melengkapi panorama Pantai Nampu. Ombak yang bergulung seolah mengajak berlarian.
Akhirnya, saya pun tergoda untuk bermain dengan butiran pasir dan terhempas
gulungan ombak. Air laut kini membasahi seluruh tubuh saya. Hingga tak terasa
hari pun sudah beranjak melewati tengah hari. Saya menyudahi waktu untuk
bermanja-manja dengan pantai.
Pemandangan pantai Nampu dari bukit Sembukan |
Pantai Nampu dari atas |
Sambil berbalik arah untuk pulang,
hati ini tergoda dengan pantai terakhir, Pantai Sendang. Di sini lebih sepi
dari tiga pantai sebelumnya, hanya ada orang yang asyik dan sabar menunggu kail
ditarik oleh ikan. Sepi ini yang mengajarkan saya bahwa hidup akan lebih
bermakna jika bersama orang yang disayangi.
Lalu, roda motor ini pun kembali memacu
untuk segera pulang ke Jogja. Barisan pantai yang saya jamah dalam hari itu
akan selalu menyisakan rindu untuk kembali dan menyapanya. Semoga saja . . .