|
Gunung Lawu |
Sama halnya mencintai seseorang, untuk
mencintai negeri tercinta ini tak harus memuja lewat barisan kata. Namun, saya
lebih memilih menikmati tiap jengkal alam Indonesia yang indah. Selebihnya, saya
mengenalkannya melalui berbagai potret yang terbingkai apik
Mendengar kata Gunung Lawu, yang terbersit
dalam otak adalah cerita mistisnya yang begitu kental. Tetapi, di balik itu ada
mahakarya Tuhan yang luar biasa indah dan memukau. Saya pun begitu penasaran
dan ingin sekali menjamahnya.
Hingga pada akhirnya saya bertemu dengan
sepuluh orang teman seperjalanan yang juga haus akan hawa dingin dan
ketinggian. Meski berasal dari daerah yang berbeda-beda tapi kami memiliki satu
tujuan, menggapai puncak Gunung Lawu bernama Hargo Dumilah.
Rasa penasaran untuk melintasi jalur Candi
Cetho membuat kami kian bersemangat. Selain medannya yang landai, konon jalur
tersebut merupakan jalur terindah untuk mencapai puncak Gunung Lawu.
Untuk menuju basecamp pendakian Gunung
Lawu, kami harus menuju Candi Cetho yang berada di Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Tak sulit untuk menjangkaunya karena ada banyak maskapai penerbangan seperti
Lion Air, Sriwijaya Air, Citilink, Batik Air, dan Garuda Indonesia yang
memiliki rute penerbangan menuju Solo. Setelah itu dilanjutkan dengan bis
menuju Candi Cetho.
Pagi itu, kami berkumpul dan bertemu di
Terminal Tirtonadi, Solo. Truk yang dipesan beberapa waktu sebelum
keberangkatan sudah siap mengantarkan kami. Kurang lebih pukul tiga pagi kami
sudah berada di truk yang melaju kencang. Tak lupa pula, di tengah perjalanan
kami sejenak menikmati sarapan pagi di pasar tradisional serta melengkapi
perbekalan. Tak lama kemudian, perjalanan dilanjutkan kembali.
Usai raja siang memunculkan sinarnya,
tibalah kami di gerbang pendakian Gunung Lawu. Susunan bebatuan Candi Cetho
yang begitu unik karena mirip peninggalan peradaban Suku Maya menyambut
kedatangan kami. Setelah urusan simaksi selesai, kami pun mengawali pendakian
dengan berdoa bersama untuk memohon keselamatan.
|
Tim "Kesebelasan" pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho |
Perjalanan menuju pos demi pos kami lalui
bersama, setiap pos rata-rata dapat ditempuh satu setengah jam hingga dua jam.
Namun, tiap pendakian pasti memiliki kendala. Saat tiba di pos empat, hujan
turun begitu deras. Hal itu membuat perjalanan kami sedikit melambat. Tetapi, kami
akhirnya sampai di pos lima serta memutuskan untuk mendirikan tenda.
Hujan tak lagi turun, kabut kian pekat, dan
malam semakin dingin. Tak banyak aktivitas yang dilakukan dan kami memilih
tidur usai makan malam. Berselimutkan sleeping
bag, kami pun tertidur pulas hingga pagi. Suara gemerisik pepohonan dan
kicau burung menyambut pagi dan membangunkan tidur lelap kami. Seolah saling
memahami, kami sesegera mungkin menyiapkan sarapan pagi agar bisa melanjutkan
perjalanan menuju puncak.
|
Tanjakan Cinta versi Gunung Lawu |
|
Jalur di Bulak Peperangan |
Pos lima yang merupakan tempat kami
bermalam rupanya begitu indah di kala pagi, mirip Tanjakan Cinta versi Gunung
Lawu. Tempat kami mendirikan tenda itu dinamakan Bulak Peperangan yang dahulu
menjadi tempat perang pasukan kerajaan Majapahit melawan kerajaan Demak. Di
tempat inilah saya merasa jatuh cinta dengan pemandangan alam di Gunung Lawu.
Pemandangan yang tersaji seperti serpihan surga yang Tuhan kirimkan ke bumi.
Belum habis rasa kekaguman dengan Bulak
Peperangan, kami sudah disuguhi pemandangan sabana yang maha luas. Di tengah
sabana, terbentang Sendang Tapak Menjangan yang pada musim penghujan terdapat
air seperti danau. Keindahannya tak lagi bisa diungkapkan dengan kata-kata. Cukup
kami bingkai dalam kamera agar kelak bisa ditunjukkan pada anak cucu ketika kata
tak bisa lagi terucap.
|
Tak ingin melewatkan momen indah saat mendaki |
|
Sabana yang di tengahnya terdapat Sendang Tapak Menjangan |
|
Padang sabana yang terhampar luas |
|
Perjalanan tim "kesebelasan" menuju puncak |
Dari sabana kami masih terus berjalan
menanjak dengan medan berbatu. Sisa-sisa kebakaran beberapa waktu lalu masih
membekas dan menjadikan jalur yang dilalui tandus. Namun, pesonanya seolah
memang tetap ada dan tak pernah hilang. Tak terasa kami sampai di Pasar Dieng,
orang menyebutnya dengan pasar setan. Dan diatasnya merupakan Hargo Dalem, di
sanalah rumah Mbok Yem berada, yang begitu legendaris dikalangan para pendaki.
Di rumah tertinggi di Gunung Lawu kami
menyantap masakan buatan Mbok Yem yang tak kalah nikmatnya. Tak lama kemudian,
kami meneruskan perjalanan menuju puncak Hargo Dumilah yang tinggal beberapa
langkah. Panas dan berdebu saat melintasi jalur menuju puncak tak lagi kami
hiraukan. Tak butuh waktu sampai satu jam, kami pun bisa mencapai puncak Hargo
Dumilah dengan ketinggian 3265 Mdpl. Perjuangan menuju ke sana seolah memberikan janji bahwa di sanalah
kami bisa melihat seluruh keindahan yang Tuhan tawarkan dan tak lagi bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Setiap jalur yang dilalui memiliki daya magis
yang membuat saya tak berhenti terkagum-kagum. Dan inilah sebagian kecil
Indonesia dengan pesonanya yang tak pernah ada habisnya.
|
Saat perjalanan sampai di Pasar Dieng |
|
Finally, sampai di puncak Gunung Lawu 3265 Mdpl |
|
Perjalanan menuruni puncak gunung |
Cukup puas kami memanjakan mata
dengan pemandangan yang luar biasa indah di atas sana. Waktu rupanya memaksa
langkah kami untuk kembali menuruni puncak gunung melewati jalur Cemoro Kandang
tanpa halangan apapun. Jatuh cinta dan mengagumi alam negeri ini membuat saya
lebih mencintai Indonesia, rumah untuk saya selalu kembali sejauh apapun
perginya. Semoga akan ada campur tangan Tuhan yang mengantarkan langkah saya
menuju belahan bumi Indonesia yang lain dengan tiket pesawat promo dari
Airpaz.