Dari Flores Penuh Kenangan Hingga Pantai Ora yang Selalu Diimpikan
“Nyalakanlah
lilin daripada terus menunggu gelap. Lebih baik melakukan sedikit ketimbang
menyalahkan keadaan”
Kalimat motivasi itulah yang membuat
hati saya tergerak ketika tahun 2012 silam mulai mendedikasikan diri untuk
negeri tercinta ini, Indonesia. Program Sarjana Mendidik yang saya ikuti telah mengantarkan
saya pada sebuah desa di pedalaman Pulau Flores. Sekolah tempat saya mengajar
itu masih diwarnai dinding dan atap yang berlubang dimana-mana. Saat hujan
turun saya beserta murid-murid disana harus menggeser kursi dan meja agar tak
terkena air hujan dari atap yang bocor. Halaman sekolah pun berubah menjadi
kubangan lumpur yang memaksa kami harus menggunakan sepatu boot atau bahkan telanjang kaki.
Hingga tak terasa saya telah
melewati ratusan hari bersama mereka, murid-murid dengan semangat baja untuk
belajar di tengah keadaan yang seadaanya. Setahun menjalani kehidupan di sana
yang memang berbeda adat dan keyakinan membuat saya begitu menghargai
perbedaan. Kenangan yang saya rangkai pun pasti akan selalu melekat sepanjang
hidup. Disaat libur mengajar tak jarang saya menyempatkan diri untuk
menyambangi berbagai tempat indah di Flores seperti Labuan Bajo, Pulau Rinca,
Pulau Komodo, Taman Laut 17 Pulau, Kampung Adat Bena, Danau Kelimutu, bahkan
hingga Maumere.
Bukit Wolobobo di Bajawa |
Kampung Adat Bena, Bajawa |
Pulau Monyet dan Pulau Bajo, Labuan Bajo |
Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, NTT |
Satu tahun memang cukup lama untuk
meninggalkan kampung halaman saya di Jawa, namun tak cukup untuk membuat
perubahan drastis dengan keadaan di sekolah saya. Tetapi, setidaknya apa yang
saya miliki bisa saya bagi agar memotivasi dan mengispirasi mereka untuk tak menyerah
dengan keadaan. Bulan demi bulan yang saya lewati, terjalin persaudaraan dengan
masyarakat di sana. Orang-orang yang mengganggap saya saudara dan berharap saya
kembali untuk mereka kelak. Dan benar saja, ketika di akhir masa tugas dan saya
akan kembali ke Jawa air mata itu tak terbendung lagi. Saya sudah menjadi
bagian dari mereka, begitu pun mereka yang sudah menjadi bagian dari hidup
saya. Mereka lah yang mengajarkan saya tentang kehidupan, kesederhanaan, dan
kebersamaan. Sedih rasanya meninggalkan mereka. Hanya bisa berharap semoga saya
bisa kembali ke Flores untuk mereka, yang telah memberi warna dalam kehidupan
saya. Dan besar harapan saya di Hari Kemerdekaan Indonesia ke-70 ini, semoga
terdapat perubahan di desa dan sekolah yang pernah menjadi tempat untuk saya
belajar kehidupan.
Sepenggal perjalanan selama di Flores itu sukses
memberi kenangan dengan ribuan cerita yang bisa saya bagikan untuk anak cucu
kelak. Dan kini, Pantai Ora di Ambon pun membuat saya tak pernah berhenti untuk
memimpikannya sebagai latar cerita saya berikutnya. Sepuluh September merupakan
hari lahir saya, selalu saja berharap bisa mendapat kado indah mengunjungi
Pantai Ora dengan tiket pesawat gratis dari Airpaz.com. Lautan kaca sebagai sebutan
dari Pantai Ora yang membuat saya tergelitik untuk segera menyelami indahnya
alam bawah laut di sana. Tak hanya itu, menikmati semburat merah yang hampir
tenggelam dari resort apung pun akan
jadi moment indah yang sayang untuk
dilewatkan ketika di Pantai Ora.
Pantai Ora, Ambon (Sumber: http://www.ilmitour.com) |
Maskapai yang menuju ke Ambon ada GarudaIndonesia, Sriwijaya Air, Batik Air, dan Lion Air. Apapun maskapainya yang
terpenting adalah tujuan dan menikmati perjalanan agar kelak membawa cerita
baru ketika kembali. Semoga saja harapan itu nyata adanya.
Terimakasih atas partisipasinya dalam Lomba Menulis Airpaz.com
ReplyDeleteSemoga menang. :)
Airpaz Team
nice post...semoga menang nih..
ReplyDeleteAirpaz Team : Ayok dong min, tulisanku menang. Hehehe . . .
ReplyDeleteRia : Terima kasih mba, doain deh . . .