Sunday, May 24, 2015



“Secangkir kopi bisa habis, tapi obrolan soal kopi tak habis-habis”
            Kutipan tersebut selalu membuat saya yakin bahwa secangkir kopi memang memiliki banyak cerita yang sayang untuk tak diceritakan. Bahkan, bagi sebagian banyak orang kopi lah yang menjadi sumber inspirasi. Negeri kita pun adalah surga kopi yang tak kalah saing kualitasnya dengan kopi dari negara lain. Salah satu contohnya yaitu kopi luwak yang sudah terkenal di seluruh belahan dunia. 
Ilustrasi Biji Kopi
            Tak dipungkiri bahwa tradisi meminum kopi di Indonesia sudah ada sejak jaman dahulu, salah satunya di kota Tulungagung. Kota yang sebelumnya memang tak pernah ada dalam daftar kunjungan saya pun akhirnya menuai cerita menarik. Setelah menuntut ilmu di  Kampung Inggris Pare saya menyempatkan untuk bertemu dengan seorang teman dari Tulungagung. Percakapan saya dengannya sudah berbulan-bulan terjalin dengan baik. Maka tak heran jika dia  berjanji akan membawa saya untuk menunjukkan secuil surga yang ada di Tulungagung. Tak hanya pantai dan bukit cantik yang disuguhkan ataupun kerajinan marmer yang banyak dijumpai disetiap sudut kota, tetapi aroma kopinya pun berhasil saya nikmati bersama dinginnya malam.
            Usai menjamah pantai selatan yang menguras tenaga dan terbayar oleh keindahan luar biasa, malam harinya saya sempatkan untuk menikmati kopi khas Tulungagung yaitu Kopi Ijo. Budaya meminum kopi memang tak bisa dipisahkan oleh masyarakat Tulungagung. Oleh karena itu, di Tulungagung banyak terdapat warung kopi yang menyediakan Kopi Ijo. Warung kopi itulah yang menjadi tempat masyarakat untuk saling bersosialisasi.
Warung kopi yang terkenal sejak dahulu di Tulungagung yaitu warung kopi Waris yang saat ini sudah diteruskan oleh generasi Mbah Waris. Kopi Ijo sendiri terbuat dari kopi robusta dan kacang hijau. Biji-biji kopi robusta tersebut tak hanya diambil dari kebun warga di Tulungagung, tetapi juga didatangkan dari Mojo, Kediri. Pada jaman Mbah Waris, kopi dan kacang hijau tersebut disangrai dan ditumbuk. Tetapi, pada jaman modern sekarang ini pembuatan Kopi Ijo sudah digiling menggunakan mesin. Tak hanya warung kopi Waris, ada juga warung kopi lain yang tumbuh menjamur disekitarnya.
Malam itu dingin begitu pekat, saya mencicipi Kopi Ijo di Halte Café dekat alun-alun kota Tulungagung. Harga yang ditawarkan untuk secangkir Kopi Ijo cukup murah yaitu tiga ribu rupiah. Sambil menunggu kopi datang saya berbincang-bincang dengan teman tentang kopi di Tulungagung. Masyarakat di sini memiliki kebiasaan yang unik dengan kopi yang mereka minum. Ampas kopi yang biasanya akan diabaikan begitu saja, tetapi masyarakat Tulungagung justru menggunakan ampas kopi untuk membatik rokok atau sering disebut nyethe. Bahkan, bupati Tulungagung sendiri membuat lomba nyethe untuk warganya. 
Kopi Ijo
Akhirnya kopi pesanan saya datang setelah menunggu beberapa menit. Secangkir Kopi Ijo yang menghangatkan saya dari dinginnya malam. Dari aromanya saja sudah nikmat sekali apalagi rasanya. Tampilan kopi dalam cangkir memang ada warna kehijauan, mungkin itu tumbukan kacang hijaunya. Rasa dan aroma Kopi Ijo setelah dicicipi begitu nikmat dan gurih. Jika biasanya kopi itu pahit, berbeda dengan Kopi Ijo yang memiliki rasa manis di dalamnya. Rasa manis itu berasal dari tumbukan kacang hijau. Secangkir Kopi Ijo inilah yang membuat malam saya menjadi hangat dengan obrolan soal kopi khas Tulungagung bersama seorang teman. Apakah kalian sudah cukup penasaran dengan aroma dan rasa Kopi Ijo? Jangan lupa mencicipi Kopi Ijo ketika mengunjungi Kota Marmer yaa . . . 

Facebook : Widha Kumalasari 
Twitter : @WiedWiedha

3 komentar:

Dear Widha . . . . 2019 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template