Dear You Bromo . . .
Bromo, pesonanya memang takkan
pernah habis untuk dibahas dalam satu jamuan secangkir kopi. Bahkan, di luar
negeri pun gunung ini paling sering disebut ketika mendengar kata Indonesia.
Bromo pun turut serta menjadi background
kegagahan Gunung Semeru dengan matahari terbitnya yang menjadi pelengkap keindahan
mahakarya Tuhan. Untuk menuju Bromo, kota Malang menjadi pilihan dalam memulai
cerita perjalanan kali ini.
Hal
yang paling membahagiakan dari solo
backpacking adalah ketika di perjalanan bertemu dengan orang baru,
mengenalnya selama perjalanan, setelah itu menjadi saudara yang saling
merindukan dan membutuhkan. Saya merasa sangat beruntung karena telah dianggap
adik oleh salah seorang teman perjalanan ketika mengunjungi suatu tempat pada
perjalanan sebelumnya. Di suatu kesempatan, dia pun mengundang saya untuk
datang ke kotanya, Malang. Mendengar hal itu terbesit Gunung Bromo dalam
pikiran, cukup saya simpan rapi keinginan itu dalam hati. Tak butuh
pertimbangan yang lama, saya pun menyambangi kota Malang seorang diri. Tanpa
diduga, sesampainya di Kota Apel saya disambut hangat oleh keluarganya. Jadwal
perjalanan, akomodasi, bahkan tiket untuk kembali ke Jogjakarta pun sudah
disediakan. Ketika itu saya tak berhenti mengucap syukur karena pernah bertemu
dengan orang sebaik dia.
Ketika
melewati tengah malam, dia beserta keluarga kecilnya mengajak saya untuk ke
Bromo. Diantara sunyi yang berselimutkan hawa dingin, kami pun menerjang kabut
menuju Bromo dengan mengendarai sepeda motor. Gelap gulita yang menemani
perjalanan kami, hanya ada lampu motor yang memberikan cahaya untuk terus
membelah jalanan. Berjam-jam lamanya kami berjibaku menahan dingin dan mengendalikan kemudi motor agar bisa menembus
tanjakan.
Lantas,
ada secuil sinar yg muncul di balik langit, pertanda sang surya akan keluar
dari peraduannya. Bukit teletubies membuat saya jatuh hati pada pandangan
pertama sembari melepas lelah. Tak lama kemudian, kembali menyusuri jalanan
menuju Bromo yang semakin dekat. Tak diduga, ternyata kedekatan jarak itu
merupakan fatamorgana dibalut dengan kesunyian bukit berbisik yang mencoba
menyapa orang-orang di sekitar. Kekaguman ini tak terhenti sampai disini, Bromo
yang menjulang tinggi membuat saya ingin sesegera mungkin menjamahnya.
Bukit Teletubies |
Setibanya
di pelataran pura, ratusan orang terlihat menaiki anak tangga ke puncak.
Tetapi, merayap di pasir untuk menuju puncak justru menjadi pilihan saya. Benar
saja bahwa ketika sampai di atas puncak, semesta beserta isinya seakan menyapa
saya dengan keindahannya. Dear you,
Bromo . . .
Menikmati Keindahan di Puncak Bromo |
Hembusan
angin yang kian kencang membuat aroma sulfur dari dalam kawah semakin tajam dan
memaksa saya agar turun dari puncak. Ah, ternyata masih ada Penanjakan 2 yang
memanjakan mata saya sesudah turun dari puncak dan kembali menaiki jalanan yang
sangat menanjak.
Seolah tak ingin berpisah, di Penanjakan 1 semakin membuat
saya enggan beranjak untuk terus memandangi lautan awan diantara gunung Bromo,
Tengger, dan Semeru. Entah, mulut saya seolah terbungkam untuk tidak mengatakan
bahwa semua yang Tuhan tunjukkan hari itu adalah karya terbaikNya.
View dari Penanjakan 2 |
Akhirnya,
saya pun kembali ke kota Malang dengan sebuah cerita indah yang terurai bersama
keluarga baru. Semoga Tuhan kelak membalas kebaikan kalian di masa mendatang.
Aamiin . . .