Thursday, October 22, 2015

Kota Bajawa dengan latar Gunung Inerie (Sumber: http://endefloresntt.blogspot.co.id/2015/04/awal-berdirinya-kota-bajawa.html)

          Tak terasa waktu telah berlalu begitu panjang, dua tahun lalu saya meninggalkan kota kecil Bajawa yang penuh dengan cerita. Lamunan tentang kota itu selalu membayangi seluruh sel-sel otak saya. Begitu rindunya dengan Bajawa, Ngada, Flores, kota di atas awan yang berhawa dingin. 
Bajawa, yang teringat dari kota ini yaitu Kampung Adat Bena
          Beberapa hari sebelum kepulangan ke tanah Jawa, saya memang di bebaskan dari tugas. Waktu pun saya manfaatkan untuk berkumpul dengan orang-orang di sekitar. Satu jam perjalanan ke kota Bajawa, di situlah tempat saya bertugas dulu. Setahun menjalani semuanya ternyata begitu banyak kenangan yang terangkai. Semua kisahnya saya tulis rapi agar kelak ketika ingatan sudah berkurang maka tulisan itulah yang bercerita.  
          Malam itu di rumah Mama semua anggota keluarga sudah berkumpul. Tetapi, ada sesuatu yang tak seperti biasanya di rumah Mama. Saya menatap satu per satu orang yang ada di rumah, Bapa, Mama, dan Kakak. Begitu saya menyebut mereka sehari-hari selama tinggal di rumah itu. 

          “Wid, kakak ti bisa kasih apa-apa dengan kau. Kau bawa e ini kain tenun. Kau pakai untuk syal saat kau pesiar-pesiar” , ucap Kakak.
          “Bapa dan mama juga ti bisa kasih apa-apa dengan kau. Mama hanya bisa kasih ini kain, kau pakai kalau kau rasa dingin e. Kau harus ingat kalau kau pu keluarga di sini. Jangan lupa kami e”, imbuh Mama.
           Mata saya berkaca-kaca mendengarnya, sedih bercampur haru. Ucapan mereka seolah menandakan bahwa saya tidak akan kembali ke rumah itu lagi. Tetapi, saya tidak akan melupakan mereka sampai kapan pun. Mereka mengajarkan saya tentang persaudaraan dan kebersamaan, dari saya yang bukan siapa-siapa di rumah itu hingga menjadi bagian dari keluarga.
Kain tenun syal pemberian Kakak
Kain pemberian Mama dengen motif seperti pada gambar. Foto tersebut diambil oleh saya dan diperagakan oleh murid saya
          Sehelai kain tenun dari Mama dan Kakak membuat saya merasa berarti untuk mereka. Kain tenun tentu bukan sembarang kain dan harganya pun mahal. Untuk kain tenun syal saja bisa dihargai 150 ribu rupiah sedangkan kain tenun yang besar seperti sarung harganya mulai dari 400 ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Itulah yang membuat saya merasa bahwa kain tenun yang diberikan tak semata hanya sebuah kenangan tanpa arti.
          Berbicara tentang kain tenun rasanya tak lengkap jika tak membahas tentang kain khas Bajawa itu sendiri. Kain tenun yang sering di pakai oleh masyarakat Bajawa merupakan kain yang berbentuk seperti sarung. Motif kain tenun Bajawa berwarna hitam dan kuning yang menandakan kesetiaan. Kain tenun tersebut biasanya digunakan pada acara-acara adat, kematian maupun acara penting lainnya. Menurut adat, seseorang yang menggunakan kain tenun merupakan orang yang sudah dewasa dalam adat dan disegani. 
Kain tenun Bajawa digunakan pada acara adat
Acara adat selalu menggunakan kain tenun
          Di Bajawa sendiri, saya sering berkunjung ke Kampung Adat Bena. Ada banyak masyarakatnya yang setia menenun kain. Kain yang sudah jadi pun dipasarkan di depan rumah adat untuk di jual ketika ada pengunjung. Kota kecil Bajawa ini tak begitu besar, tapi untuk menemukan kain tenun tak begitu sulit. Banyak yang menjualnya, tentunya dengan merogoh kocek yang tidak sedikit dan hati terpuaskan dengan kain khas Bajawa yang melegenda.
Kampung Adat Bena, salah satu kampung adat yang memproduksi kain tenun

Kain tenun syal yang selalu saya bawa ketika traveling
         Kini, kain tenun syal pemberian Kakak selalu saya bawa ketika traveling kemanapun, bahkan hingga luar negeri. Dan kain yang Mama berikan kepada saya juga selalu menemani tidur malam. Konon ketika seorang laki-laki memberi kain tenun pada perempuan menandakan bahwa kain tersebut sebagai simbol cinta. Tetapi, bagi saya siapapun yang memberi kain tenun itu merupakan simbol cinta mereka kepada saya yang akan terus saya kenang dan jaga baik-baik. Rupanya, ketika saya selalu tidur dan berpergian dengan kain itu, saya selalu ingat mereka seperti layaknya keluarga kandung. Semoga, kelak saya bisa kembali ke kota Bajawa untuk mereka yang begitu menyayangi saya.


10 komentar:

  1. Bagus...jadi pengin ke Bena. Semoga menang , ya.....

    ReplyDelete
  2. Amiin...ayok ke sana lagi, ke rumah sa pu mama *logatBajawa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ayo datang ke sini lagi mba,,,nih guru2 SMP SATAP KURUBHOKO pada kangen nih,,,,

      Delete
  3. Ganti tema blog ya, Mbak. Kayaknya kemarin bukan ini hehehe. Akkk BAJAWAA, kangeenn. *kayak udah ke sono aja nih akunya, hehehehe.

    Semoga menang, Mbak :D

    ReplyDelete
  4. Iyaa ganti biar tampilannya simple. Saya jg rindu saya punya mama mba *logatFlores :(

    Doakan menang ya mba :)

    ReplyDelete
  5. Duuuhh jadi.makin pengen.ke flores ni jadinya
    Salam.kenal ya

    ReplyDelete
  6. Q tgl disana setahun aja msh kurang Makk . . . Salam kenal jg makk :)

    ReplyDelete
  7. Kapan-kapan Mbak Wid ke Maghilewa, juga kampung tradisional.

    ReplyDelete
  8. Maghilewa, sebuah kampung tradisional di Kabupaten Ngada, tepatnya di Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada. Untuk sampai ke Maghilewa melalui kota kecil Aimere, terus ke arah timur sekitar delapan kilometer, nanti sampai Malapedho, lalu dengan Oek ke kampungtradisional Magilewa ke arah lereng gunung Inerie.

    ReplyDelete
  9. Saya pernah ke aimere, sebelah mananya itu? dulu teman tugas disitu

    ReplyDelete

Dear Widha . . . . 2019 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template