Sunday, June 28, 2015



        
Gunung Bromo
         Bromo, pesonanya memang takkan pernah habis untuk dibahas dalam satu jamuan secangkir kopi. Bahkan, di luar negeri pun gunung ini paling sering disebut ketika mendengar kata Indonesia. Bromo pun turut serta menjadi background kegagahan Gunung Semeru dengan matahari terbitnya yang menjadi pelengkap keindahan mahakarya Tuhan. Untuk menuju Bromo, kota Malang menjadi pilihan dalam memulai cerita perjalanan kali ini.
          Hal yang paling membahagiakan dari solo backpacking adalah ketika di perjalanan bertemu dengan orang baru, mengenalnya selama perjalanan, setelah itu menjadi saudara yang saling merindukan dan membutuhkan. Saya merasa sangat beruntung karena telah dianggap adik oleh salah seorang teman perjalanan ketika mengunjungi suatu tempat pada perjalanan sebelumnya. Di suatu kesempatan, dia pun mengundang saya untuk datang ke kotanya, Malang. Mendengar hal itu terbesit Gunung Bromo dalam pikiran, cukup saya simpan rapi keinginan itu dalam hati. Tak butuh pertimbangan yang lama, saya pun menyambangi kota Malang seorang diri. Tanpa diduga, sesampainya di Kota Apel saya disambut hangat oleh keluarganya. Jadwal perjalanan, akomodasi, bahkan tiket untuk kembali ke Jogjakarta pun sudah disediakan. Ketika itu saya tak berhenti mengucap syukur karena pernah bertemu dengan orang sebaik dia.
          Ketika melewati tengah malam, dia beserta keluarga kecilnya mengajak saya untuk ke Bromo. Diantara sunyi yang berselimutkan hawa dingin, kami pun menerjang kabut menuju Bromo dengan mengendarai sepeda motor. Gelap gulita yang menemani perjalanan kami, hanya ada lampu motor yang memberikan cahaya untuk terus membelah jalanan. Berjam-jam lamanya kami berjibaku menahan dingin dan  mengendalikan kemudi motor agar bisa menembus tanjakan.
          Lantas, ada secuil sinar yg muncul di balik langit, pertanda sang surya akan keluar dari peraduannya. Bukit teletubies membuat saya jatuh hati pada pandangan pertama sembari melepas lelah. Tak lama kemudian, kembali menyusuri jalanan menuju Bromo yang semakin dekat. Tak diduga, ternyata kedekatan jarak itu merupakan fatamorgana dibalut dengan kesunyian bukit berbisik yang mencoba menyapa orang-orang di sekitar. Kekaguman ini tak terhenti sampai disini, Bromo yang menjulang tinggi membuat saya ingin sesegera mungkin menjamahnya. 
Bukit Teletubies
          Setibanya di pelataran pura, ratusan orang terlihat menaiki anak tangga ke puncak. Tetapi, merayap di pasir untuk menuju puncak justru menjadi pilihan saya. Benar saja bahwa ketika sampai di atas puncak, semesta beserta isinya seakan menyapa saya dengan keindahannya. Dear you, Bromo . . . 
Menikmati Keindahan di Puncak Bromo
 
Area Gunung Bromo
          Hembusan angin yang kian kencang membuat aroma sulfur dari dalam kawah semakin tajam dan memaksa saya agar turun dari puncak. Ah, ternyata masih ada Penanjakan 2 yang memanjakan mata saya sesudah turun dari puncak dan kembali menaiki jalanan yang sangat menanjak. 
 
View dari Penanjakan 2
Seolah tak ingin berpisah, di Penanjakan 1 semakin membuat saya enggan beranjak untuk terus memandangi lautan awan diantara gunung Bromo, Tengger, dan Semeru. Entah, mulut saya seolah terbungkam untuk tidak mengatakan bahwa semua yang Tuhan tunjukkan hari itu adalah karya terbaikNya. 
View dari Penanjakan 2
Akhirnya, saya pun kembali ke kota Malang dengan sebuah cerita indah yang terurai bersama keluarga baru. Semoga Tuhan kelak membalas kebaikan kalian di masa mendatang. Aamiin . . .

Dear Widha . . . . 2019 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template