Sunday, May 10, 2015



        Sekilas memang seperti judul lagu, tapi bukan tanpa alasan saya memberi judul tersebut. Lebih dari lima tahun hidup di Jogja dan selalu memandang gunung tersebut dari kejauhan tapi ironisnya saya belum pernah mencumbui puncak Garudanya.
Tak ada tempat untuk berlari dari kejenuhan yang melanda pikiran selain ketinggian dan kabut. Mereka dua sejoli yang takkan terpisahkan. Saat orang-orang di sekeliling kota Jogja mulai bersiap untuk merajut mimpi malam, roda motor ini terus melaju kencang ke arah kaki Gunung Merapi. New Selo adalah tempat untuk memulai pertualangan ini. 
Puncak Garuda, Gunung Merapi
          Tengah malam, saat berganti hari, kaki ini mulai melangkah menapaki setapak berpasir. Kabut pun memudarkan cahaya dari lampu senter yang mencoba menerangi jalan, seakan – akan ingin memeluk. Terus berjalan menyusuri gelapnya malam dan rimbunnya pepohonan. Haus terasa hingga pangkal tenggorokan yang memaksa ratusan mili liter air mengalir di dalamnya. Sesekali nafas ini pun harus bekerja lebih santai agar tak terlihat seperti orang berlarian. Satu demi satu pos, mulai dari batas ladang hingga Selokopo bawah pun terlewatkan. Punggung agaknya lelah memikul tas, hingga akhirnya merebahkan tubuh untuk melepas lelah sejenak. 
Jalur Tracking Menuju Puncak
Jalur Tracking Menuju Puncak
Puncak Garuda, Gunung Merapi
          Entah, ego atau puncaklah yang akan ditaklukan. Tetapi, ketinggian dan kabut pasti selalu punya cerita yang indah selepas pulang. Kaki kembali menerjang dinginnya malam menuju Selokopo atas yang hanya dilalui sekitar satu jam perjalanan. Sekilas tampak tenda berdiri atau pun orang memakai sleeping bag di antara bebatuan. Di Selokopo atas juga terlihat begitu jelas cahaya bulan yang memancarkan sinarnya, menunjukkan bahwa di depan adalah Pasar Bubrah. Pikiran mulai menerka, sebegitu dekatkah antara Selokopo atas dan Pasar Bubrah? Ternyata itu seperti fatamorgana agar kaki ini terus berjalan menuju ke sana. Satu jam melewati bebatuan dan pasir yang berdebu. Akhirnya cahaya bulan membawa kaki ini ke Pasar Bubrah.
          Ratusan tenda yang berdiri terhampar di Pasar Bubrah. Tetapi, kaki terus melangkah dan kepala kian menengadah ke atas. Tiba-tiba terdengar celoteh sahabat “Kalo hampir 90 derajat sepertinya aku nggak sanggup. Lihat, tebing dan bebatuannya kalo seandainya terjatuh. Semampunya saja ya…”. 
Tracking dari Pasar Bubrah ke Puncak
Gunung Merbabu dari Pasar Bubrah
Matahari Terbit di Puncak Garuda
          Butuh lapisan tekad yang kuat untuk berjalan di pasir dan menaiki bebatuan dari Pasar Bubrah menuju puncak Garuda. Mata ini hampir saja meneteskan airmata karena ingin menyerah. Dingin pun tak lagi bisa dirasakan karena bercampur dengan keringat yang mengucur di seluruh tubuh. Ketika merayap diantara tebing bebatuan, badan mencoba membalikkan arah yang ternyata semburat merah sudah akan menampakkan diri. Tak jauh lagi perjalanan ini, pasti bisa sampai puncak Garuda. Dua jam lebih melawan hempasan angin, pasir, dan bebatuan hingga akhirnya di ketinggian 2968 Mdpl dapat melihat indahnya mahakarya Tuhan. Lautan awan yang membentang luas begitu memukau pandangan mata dan semburat merah matahari terbit yang akan menghangatkan tubuh. Serta gagahnya Gunung Merbabu yang setia mendampingi Gunung Merapi yang tak luput dari fokus kamera. Terima kasih ketinggian dan kabut, telah menunjukkan secuil keindahan di atas sana. Percayalah, ketika mimpi kamu untuk mencumbuinya tak pernah hilang maka Merapi pun tak akan ingkar janji membawamu ke sana. 

Dear Widha . . . . 2019 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template