Sunday, May 10, 2015



“Edelweis, itulah penyemangat dari sebuah perjalanan hati menuju puncak”

Keindahan di Puncak Ungaran
          Sekian lama tak menghirup udara gunung yang kian dingin, tak bercengkerama dengan pucuk daun cantigi dan mencumbu edelweis. Kerinduan akan hal itu yang membuat kaki ingin melangkahkan kembali ke jalanan yang tak lagi datar. Jalanan yang menuai banyak pelajaran dan mengurai cerita persahabatan. Iya, gununglah yang selalu membuat kerinduan ini tak lagi bisa ditawar.
          Pernah terbayangkan dalam benakmu ketika harus berbuka puasa dan sahur di gunung? Mungkin hanya orang-orang anti mainstream yang rela berpeluh keringat saat bulan puasa. Saat orang lain bermalas-malasan dan tak ingin lelah karena ibadah puasanya yang membuat lemas, saya dan teman-teman justru mengejar impian untuk ibadah dan merasakan kenikmatan berbuka maupun sahur ditemani segarnya hawa gunung.
          Hari terasa cepat berlalu ketika saya memulai perjalanan dari pos mawar menuju puncak Ungaran. Lapar dan dahaga pun seolah terabaikan. Hanya ada impian untuk berbuka di tengah gelapnya pepohonan. Saat suara adzan maghrib samar-samar terdengar, perjalanan saya terhenti di sebuah sumber air. Saya pun bergegas membasuh wajah dengan air wudhu yang menyejukkan. Menggelar sajadah dan sholat maghrib berjamaah serta memanjatkan doa-doa terbaik untuk keselamatan perjalanan. Dilanjutkan berbuka puasa dengan bekal yang dibawa meski menu seadanya. Itulah yang mengajarkan saya tentang kesederhanaan dan kebersamaan bersama teman-teman. 
Kebun Teh di Desa Promasan 

Kebersamaan bersama teman-teman


Diantara tebing-tebing tinggi

          Perjalanan pun dilanjutkan kembali untuk menuju kebun teh promasan saat waktu menunjukkan pukul 23.00. Setibanya di base camp Promasan, saya pun merebahkan badan yang agaknya memang sudah letih karena tracking saat berpuasa. Pukul 01.00 saya bersama teman-teman bersiap untuk summit attack dan sahur di puncak Ungaran. Suhu saat itu sedang mencapai puncak paling dingin di gunung Ungaran. Angin yang berhempus pun begitu kencang tapi tidak sampai terjadi badai gunung. Dua hal itulah yang mau tidak mau harus ditaklukan. Jalur yang terus menanjak dan berbatu, langkah kaki saya pun kian terseok-seok karena kelelahan. Tetapi, teman-teman begitu baiknya menunggu dengan sabar. Mereka pun menyemangati saya untuk terus melangkah demi sebuah puncak. Dua jam lebih berjibaku melawan dingin dan hembusan angin yang begitu kencang. Tiba di puncak Ungaran saat waktu sahur adalah sebuah harapan terbesar kami. Setelah sampai di puncak, teman-teman sibuk mendirikan tenda dan saya sibuk memasak untuk santap sahur. Setelah selesai, kami pun bersantap sahur sambil bercengkerama tentang keindahan puncak gunung dan perjalanan yang telah dilewati. Tak lupa melewatkan dua rakaat demi lengkapnya ibadah dan perjalanan kami. 


Memandang Keindahan dari Puncak Ungaran

Menanti Matahari Terbit di Puncak Ungaran
          Langit tiba-tiba memunculkan semburat merah di ufuk timur yang menandakan bahwa gelap malam akan berganti dengan sang surya yang muncul dari peraduannya. Tak hanya kabut yang menyelimuti kami. Tetapi, lautan awan membentang luas di hadapan kami. Bahagia ketika asa yang selama ini terpikirkan dalam otak ternyata menjadi sebuah kenyataan. Di puncak lah kami mensyukuri nikmat Tuhan karena telah menunjukkan sekeping keindahan matahari terbit.
          Usai menikmati hangatnya matahari, kami pun kembali ke pos mawar. Menuruni puncak dengan waktu yang ternyata lebih singkat ketimbang ketika naik. Lelah rasanya terbayarkan dengan semua cerita yang kami rangkai bersama. Semoga kelak Tuhan mempertemukan kami kembali di ramadhan berikutnya. Amiinn . . . 

Ungaran, 8-9 Juli 2014 

Dear Widha . . . . 2019 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template